Jumat, 30 April 2010

USHUL FIQH Definisi, Objek Kajian, Aliran-aliran dan Sejarah Perkembangan

USHUL FIQH
Definisi, Objek Kajian, Aliran-aliran dan Sejarah Perkembangan
Oleh: Nur Kholis, Lc., M.HI.

Mukadimah
Sebagaimana dikatakan Abdul Wahha>b Khalla>f dalam karyanya Ushul Fiqh : Mayoritas ulama Islam dari berbagai aliran sepakat bahwa segala aktifitas manusia baik berupa ucapan dan tindakan dalam syariat Islam ada hukum yang mengatur dan mengarahnya. Hukum tersebut, sebagian dijelaskan dalam al-Quran dan hadith dengan jelas dan rinci dan sebagian lain hukum tersebut tidak dijelaskan dengan jelas dan rinci. Akan tetapi, hanya sebatas petunjuk dan isyarat kepada hukum yang nantinya dengan berpegangan pada petunjuk dan isyarat mujtahid mampu menggali atau memunculkan hukum dari al-Quran dan hadith.
Hukum-hukum yang menjelaskan dan mengatur kehidupan manusia baik berupa ucapan bagaimana ia harus menyampaikan dan tindakan bagaimana ia akan melakukan sesuatu semua itu dikumpulkan dalam satu wadah yang disebut dengan fiqh. Oleh karena itu, dikatakan oleh para pakar hukum Islam (fiqh) bahwa fiqh itu sebuah ilmu yang memuat/terdapat di dalamnya hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amaly (perbuatan) yang digali dari dalil yang bersifat tafs}i>ly (perinci) atau fiqh juga bisa dikatakan kumpulan dari hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amaly (perbuatan) yang digali dari dalil yang bersifat tafs}i>ly (perinci).
Survey ulama membuktikan bahwa sumber dalil yang dijadikan sandaran hukum adalah al-Quran, hadith, ijma’ dan qiyas. Oleh karenanya, ulama membahas dan menjelaskan bahwa dalil hukum tersebut adalah hujjah} (pijakan) bagi semua manusia dan sumber hukum syariat yang harus dikuti hasilnya (hukum). Begitu juga, ulama membahas tentang syarat-syarat istidla>l (menggali hukum) dan macam-macam dalil kully.
Juga termasuk pembahasan para ulama, terkait dengan hukum kully yang digali dari dalil kully , kaidah-kaidah bahasa dan kaidah-kaidah syara’ yang dengan mengaplikasikannya dapat memahami hukum dari dalilnya, dan juga, ulama membahas siapa yang bisa dan mampu untuk menggali hukum dari dalilnya.
Kumpulan kaidah dan pembahasan di atas tersebut terangkum dalam sebuah disiplin ilmu yaitu ushul fiqh.

Definisi Ushul Fiqh :
Ta>juddi>n al-Subki> dalam jam’u al-jawa>mi’ mendefinisikan ushul fiqh dengan :
دلائل الفقه الإجمالية
“Dalil-dalil fiqh secara global”
Mah}alli> dalam komentarnya atas jam’u al-jawa>mi’ menjelaskan bahwa maksud definisi ushul fiqh yang dilontarkan al-Subki> di atas, ushul fiqh, ilmu yang menjelaskan tentang dalil-dalil fiqh yang global misalnya kemutlakan perintah menunjukkan wajib, larangan menunjukkan haram, ijma’ dan qiyas. Ushul fiqh tidak membahas tentang dalil-dalil fiqh yang terperinci misalnya aqi>mu> al-s}alah (kerjakan sholat) dan wa la> taqrabu> al-zina (jauhi perzinahan).
Muh}ammad al-Khud}ari> Beik mengatakan bahwa ushul fiqh ialah :
أصول الفقه هو القواعد التي يتوصل بها إلى استنباط الأحكام الشرعية من الأدلة.
“Kaidah-kaidah yang bisa dibuat untuk menggali hukum syara’ dari dalilnya” .

Maksud kaidah tersebut, ialah ketentuan universal (kulli>) yang bersesuain dengan bagian-bagiannya ketika diketahui hukum bagian-bagiannya. Misalnya, perintah adalah wajib, hal ini merupakan ketentuan universal yang sesuai dengan bagian-bagiannya sebagaimana firman Allah dalam al-Quran bahwa aqi>mu> al-s}ala>h (dirikanlah sholat) dan a>tu> al-zaka>h (keluarkan zakat).
Sedangkan cara menggunakan ketentuan-ketentuan universal dalam menggali hukum syara’ ialah, firman Allah أقيموا (aqi>mu>) kalimat perintah yang menunjukkan makna t}alab (tuntutan) yaitu kerjakan dan tidak ada tanda-tanda yang mengalihkan perkataan dari makna perintah kepada makna lainnya. Oleh karena itu, setiap kalimat yang menunjukkan arti perintah selama tidak ada hal yang mengalihkan dari makna asalnya maka kalimat tersebut menunjukkan wajib. Hasilnya, bahwa aqi>mu> menuntut wajibnya pekerjaan yang dituntut aqi>mu> yaitu sholat. Akhirnya, hasillah sebuah hukum yang dikandung dalam lafaz} aqi>mu> bahwa sholat itu wajib.

أصول الفقه في الاصطلاح الشرعي هو العلم بالقواعد والبجوث التي يتوصل بها إلى استفادة الأحكام الشرعية العملية من أدلتها التفصيلية . أو هو مجموعة القواعد والبجوث التي يتوصل بها إلى استفادة الأحكام الشرعية العملية من أدلتها التفصيلية.

“Ushul fiqh dalam istilah syara’ ialah ilmu tentang kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan yang dengannya bisa menggali sebuah hukum syara’ yang bersifat ‘amaly (perbuatan) dari dalil-dalilnya yang terperinci. Atau ushul fiqh merupakan kumpulan dari kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan yang dengannya bisa menggali sebuah hukum syara’ yang bersifat ‘amaly (perbuatan) dari dalil-dalilnya yang terperinci”.

Dari definisi ushul fiqh di atas, terdapat perbedaan istilah. Al-Subki> mengatakan bahwa ushul fiqh ialah dalli-dalil sementara Khud}ari Beik mengatakan bahwa ushul fiqh ialah kaidah-kaidah dan Khalla>f memberi pengertian lebih rinci lagi daripada pengertian Khud}ari beik bahwa ushul fiqh adalah sebuah disiplin ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan atau ushul fiqh adalah kumpulan kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan. Namun hakikatnya, mereka sepakat bahwa ushul fiqh adalah sebuah disiplin ilmu yang membahas tentang dalil atau kaidah yang digunakan untuk menggali hukum syara’, cara penggunaan dalil atau kaidah dalam beristinbat (menggali hukum) dan siapa yang bisa/berhak beristinbat.
Ini terbukti dari isi/kandungan karya yang telah ditulis oleh al-Subki> dalam jam’u al-jawa>mi’, Muh}ammad Khud}ari> Beik dalam ushul fiqh dan Abdul Wahha>b Khalla>f dalam ilmu ushul fiqh.

Objek Kajian Ushul Fiqh
Dari definisi di atas bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa obyek kajian ushul fiqh itu sudah terangkum dalam definisi ushul fiqh itu sendiri. Sebagaimana ditulis oleh Rachmat Syafe’i dalam karyanya ilmu ushul fiqih bahwa secara garis besar objek kajian ushul fiqh ada tiga :
1. Sumber hukum dengan semua seluk beluknya.
2. Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari sumbernya.
3. Persyaratan orang yang berwewenang melakukan istinba>t} (penggalian hukum) dengan semua permasalahannya.
Dan lebih rincinya lagi ialah :
1. Sumber-sumber hukum syara’, baik yang disepakati seperti al-Quran dan sunnah, maupun yang diperselisihkan, seperti istihsan dan maslahah mursalah.
2. Pembahasan tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan ijtihad.
3. Mencarikan jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara zahir, ayat dengan ayat atau sunah dengan sunah, dan lain lain baik dengan jalan pengompromian (al-Jam’u wa al-Taufiq), menguatkan salah satu (tarji>h), pengguguran salah satu atau kedua dalil yang bertentangan (nasakh/tasa>qut al-Dali>layn).
4. Pembahasan hukum syara’ yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya, baik yang bersifat tuntutan, larangan, pilihan atau keringanan (rukhsah). Juga dibahas tentang hukum, hakim, mahkum ‘alaih (manusia), dan lain-lain.
5. Pembahasan kaidah-kaidah yang akan digunakan dalm mengistinba>t} hukum dan cara menggunakannya.

Aliran-aliran Ushul Fiqh
Rahmat Syafe’i mengatakan , dalam sejarah perkembangan ushul fiqh, dikenal dua aliran, yang terjadi antara lain akibat adanya perbedaan dalam membangun teori ushul fiqh untuk menggali hukum Islam.
• Aliran pertama, disebut dengan aliran Sha>fiiyah dan jumhur mutakallimi>n (ahli kalam). Aliran ini membangun ushul fiqh secara teoretis murni tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan alasan yang kuat, baik dari dalil naqli> maupun ‘aqli>, tanpa dipengaruhi oleh masalah furu>’ (cabang-cabang) dan madhhab, sehingga adakalanya kaidah tersebut sesuai dengan masalah furu>’ dan adakalanya tidak sesuai. Selain itu, setiap permasalahan yang didukung naqli> dapat dijadikan kaidah.
Kitab standar aliran ini, antara lain: al-Risa>lah karya imam al-Sha>fii>, al-Mu’tamad karya Muh}ammad ibn ‘Ali> al-Bas}ri>, al-Burha>n fi> Us}u>l Fiqh karya imam al-H}aramayn al-Juwayni>, al-Mankhul min Ta’li>qa>t al-Us}u>l karya Abu> H}a>mid al-Ghaza>li>, Shifa>’ al-Ghali>l karya Abu> H}a>mid al-Ghaza>li> dan al-Mustas}fa> karya Abu> Ha>mid al-Gha>zali>.
• Aliran kedua, dikenal dengan istilah aliran fuqaha yang dianut oleh para ulama madhhab Hanafi>. Dinamakan madhhab fuqaha, karena dalam menyusun teorinya aliran ini, banyak dipengaruhi oleh furu>’ yang ada dalam madhhab mereka. Dan aliran ini berusaha untuk menerapkan kaidah-kaidah yang mereka susun terhadap furu>’. Apabila sulit untuk diterapkan, mereka mengubah atau membuat kaidah baru supaya bisa diterapkan pada masalah furu>’ tersebut.
Di antara kitab-kitab standar dalam aliran fuqaha ini, antara lain: al-Us}u>l karya Abu> H}asan al-Karkhi>, al-Us}u>l karya Abu> Bakr al-Jas}s}a>s, Us}u>l al-Sarakhsi> karya al-Sarakhsi> Ta’si>s al-Naz}ar karya Abu> Zayd al-Dabbu>si> dan al-Kashaf al-Asra>r karya al-Bazdawi>.

Sebagian ulama menggabungkan dua aliran di atas dalam satu karya buku, di antaranya: Ah}mad bin ‘Ali> al-Sa>’a>ti> karyanya Badi>’ al-Niz}a>m, kitab yang menggabungkan Ushulnya al-Bazdawi> dan al-Ihka>m, ‘Ubaydillah bin Mas’u>d karyanya Tanqi>h al-Us}u>l kemudian dikomentari sendiri dalam al-Taud}i>h, kitab ringkasan dari Ushul al-Bazdawi}, al-Mah}s}u>l karya al-Razi} dan Mukhtas}ar Ibn al-H}a>jib, Muh}ammad Ibn al-Hamma>m karyanya al-Tah}ri>r dan Ta>j al-Di>n al-Subki> karyanya Jam’u al-Jawa>mi’.
Sedangkan kitab-kitab ushul fiqh kontemporer yang ringkas dan berfaidah, ialah : Irsha>d al-Fuh}u>l ila Tah}qi>q al-H}aq min ‘Ilm al-Us}u>l karya imam Shauka>ni>, Us}u>l Fiqh karya Muh}ammad Khud}ari> Beik dan Tashi>l al-Wus}u>l ila ‘Ilm al-Us}u>l karya Muh}ammad ‘Abdurrahman ‘Abd al-Mah}la>wi>.

Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh
Muh}ammad Khud}ari> Beik , syariat Islam yang ada pada kita sekarang yang telah dibawa dan disampaikan oleh Sayyiduna Muhammad saw dasar utamanya, al-Quran al-Karim dan Rasul telah menjelaskan dan menafsirkan isi kandungan al-Quran dengan sabda dan tindakannya. Al-Quran dan al-Sunnah saling melengkapi maksud dan tujuan firman Allah swt. Dengan begitu, al-Sunnah juga merupakan dasar hukum Islam dan pada keduanya, al-Quran dan al-Sunnah para imam mujtahid bersandar dan berdasar dalam menggali hukum.
Ulama menetapkan bahwa hukum syara’ yang telah diputuskan oleh Sya>ri’ (Allah swt) semuanya mengandung illat yang kembali dan mempertimbangkan kemaslahatan umat manusia. Oleh karena itu, jika terdapat suatu maslahah baru yang belum terdapat hukumnya dalam al-Quran dan al-Sunnah. Akan tetapi, masalah tersebut mengandung sebuah illat yang sama dengan illatnya sebuah hukum yang lama (asal) yang telah ditetapkan hukumnya dalam al-Quran dan al-Sunnah maka masalah baru itu, bisa dihukumi dengan hukumnya masalah lama dengan pertimbangan adanya kesamaan illat. Hal tersebut disebut qiyas. Akhirnya, muncullah dasar yang ketiga dalam hukum Islam, disebut dengan qiyas.
Berdasarkan penetapan para ulama, bahwa para imam mujtahid terma’s}u>m (terjaga) dari kesalahan jika mereka sepakat dalam satu putusan hukum Islam yang berdasarkan al-Quran, al-Sunnah dan atau qiyas. Dengan kesepakatan tersebut, muncullah dasar hukum Islam lain, yang disebut dengan ijma’ (konsensus).
Dari penjelasan di atas, bisa ditarik sebuah pemahaman bahwa dalil hukum itu ada 4: al-Quran, al-Sunnah, qiyas dan ijma’. Namun pada hakekatnya, sebagaimana dikatakan oleh Muh}ammad Khud}ari> Beik bahwa hukum Islam kembali pada 2 dalil: al-Quran dan al-Sunnah.
Al-Quran turun dengan menggunakan bahasa Arab dan dijelaskan oleh Nabi saw dengan menggunakan bahasa Arab pula. Para pakar mufti> (ahli fatwa) masa sahabat semuanya sangat menguasai dan mahir tentang bahasa tersebut baik segi kandungan kalimatnya juga susunan gaya bahasanya. Di samping itu, juga kedekatan para sahabat dengan Rasul saw, pengetahuannya tentang sebab turunnya ayat dan beningnya pikiran sucinya hati mereka sehingga para sahabat Rasul saw tidak butuh pada suatu metode-metode dan kaidah bahasa dalam istinba>t} (menggali) hukum dari sumbernya.
Jika ada permasalahan baru yang belum ada hukumnya, para sahabat mencari dalam al-Quran, jika tidak ditemukan hukumnya mereka cari dalam sunnah Rasul saw dan jika masih belum mereka dapatkan hukumnya mereka melakukan ijtihad yaitu sebuah usaha untuk mengetahui hukum permasalahan baru dengan cara menyamakan permasalaan baru dengan yang lama yang sudah ada hukumnya dengan pertimbangan kesamaan illat dan tetap mengacu pada kemaslahatan umat.
Pernyataan ijtihad sahabat tersebut, sebagaimana digambarkan oleh sahabat Mua’dz bin Jabal, ketika ia akan diutus oleh Rasul saw menuju negeri Yaman. Rasul saw berkata kepada Mua’dz, dengan apa kamu akan memberi keputusan. Mua’dz menjawab, dengan al-Quran, jika tidak aku temukan maka dengan sunnah Rasul saw dan jika tidak aku temukan maka aku akan berijtihad.
Senada dengan pernyataan sahabat Mua’dz di atas, ungkapan yang dilontarkan sahabat ‘Umar bin Khat}t}a>b kepada Abu> Mu>sa> al-Ash’ari> ketika ia ditunjuk sebagai hakim kota ‘Iraq oleh sahabat Umar. Perkataan ‘Umar : Profesi mahkamah merupakan suatu hal yang wajib dan tindak lampah Rasul saw yang harus dipertahankan. Jika terdapat masalah baru yang belum ada hukumnya dalam al-Quran dan al-Sunnah maka pelajari dan ketahui masalah tersebut kemudian qiyaskan dengan permasalahan lama.
Rahmat Syafe’i, menjelaskan dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh , sebagaimana ilmu-ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu ushul fiqh tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak dan berpegang pada al-Quran dan sunah. Dengan kata lain, ushul fiqh tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasul saw dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqh, seperti ijtihad, qiyas dan nasakh dan takhsis suda ada pada zaman Rasul saw dan sahabat.
Kasus yang umum dikemukakan mengenai ijtihad adalah penggunaan ijtihad yang dilakukan oleh Mu’az bin Jabal. Sebagai konsekuensi dari ijtihad ini adalah qiyas, karena penerapan ijtihad dalam persoalan-persoalan yang bersifat juz’iyah harus dengan qiyas.
Adapun pemahaman tentang takhsis dapat dilihat dalam cara Abdullah bin Mas’ud ketika menetapkan iddah wanita hamil. Dia menetapkan bahwa batas iddahnya berakhir ketika ia melahirkan. Pendapat tersebut didasarkan pada ayat 4 dan 6 surat al-Talaq. Menurutnya, ayat ini turun sesudah turunnya ayat tentang iddah yang ada pada surat al-Baqarah ayat 228. dari kasus tersebut terkandung pemahaman ushul, bahwa nas yang datang kemudian dapat menasakh atau mentakhsis yang datang terdahulu.
Pada masa tabi’in, cara mengistinbat hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada yang menempuh metode maslahah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada masa tabi’in inilah mulai tanpak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konsekuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu.
Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau pada masa imam-imam mujtahid. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbat yang digunakan juga semakin jelas bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh metode qiyas dan istihsan. Sementara imam Malik berpegang pada amalan orang-orang Madinah. Menurutnya, amalan mereka lebih dapat dipercaya daripada hadith ahad.
Dari penjelasan di atas, menggambarkan sebagaimana diungkapkan Rahmat Syafe’i bahwa sejak zaman Nabi, sahabat, tabiin dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam suatu tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum berbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.

Pertemuan I.

Pembukuan Ushul Fiqh
Dalam sejarah ilmu ushul fiqh, sebenarnya pada awal abad I Hijriyah, ilmu ushul fiqh belum muncul dipermukaan sebagai disiplin ilmu. Karena, pada abad pertama, ilmu ushul fiqh belum dirasa diperlukan untuk dirumuskan dan dijadikan sebagai disiplin ilmu terangkum dalam sebuah buku tertulis. Walaupun hakekatnya, bahwa hukum Allah yang diturunkan kepada umat manusia dan hukum yang dihasilkan berdasarkan ijtihad Rasul saw dan para sahabatnya mempertimbangkan kemaslahatan dan keberpihakan manusia. Sedangkan maslahah ini, termasuk kajian ilmu ushul fiqh.
Sebagaimana dikatakan Khalla>f , bahwa ilmu ushul fiqh muncul dipermukaan pada abad II H. Karena, pada abad I H, ilmu ushul fiqh belum dibutuhkan. Dengan alasan, pada masa Rasul saw, Rasul saw memberi fatwa pada para sahabat dan memutuskan suatu perkara berdasarkan wahyu yang turun kepada Nabi saw, yaitu al-Quran, juga berdasarkan ilham dari Allah swt yang diaplikasikan dalam bentuk ucapan dan tindakan Nabi saw dan juga berdasarkan ijtihad Nabi saw sendiri tanpa butuh pada teori dan kaidah untuk beristinba>t} (menggali hukum) dan berijtihad.
Para sahabat-pun juga demikian, maksudnya, para sahabat juga tidak membutuhkan pada teori istinba>t} dan kaidah-kaidah berijtihad. Karena kala itu, para sahabat berfatwa dan memutuskan berdasarkan nas}-nas} yang dipahaminya melalui penguasaan dan kemahiran tentang ilmu bahasa tanpa membutuhkan kaidah-kaidah bahasa yang mengantarnya untuk memahami nas}-nas}. Para sahabat juga berfatwa dan memutuskan permasalahan yang belum ada nas}nya berdasakan pengetahuannya tentang sebab turunnya ayat, munculnya hadith, kepahamannya akan maqa>s}id al-Shari>ah (tujuan syara’) dan prinsip/dasar syara’.
Ada beberapa faktor diperlukannya pembukuan ilmu ushul fiqh, di antaranya : Meluasnya wilayah-wilayah Islam dan bercampurnya orang-orang Arab dengan orang-orang non Arab, sehingga, menyebabkan masuknya beberapa kosa kata dan susunan dalam bahasa Arab yang bukan Arab.
Termasuk faktor dibutuhkannya pembukuan ilmu ushul fiqh adalah, munculnya perdebatan antar umat Islam khususnya yang tergabung dalam dua kelompok besar, ahli al-hadith dan ahli al-ra’yu. Sehingga, dampak dari perdebatan tersebut kadangkala di tunjang dengan argumen yang tidak bisa dijadikan dalil (pijakan) dan kadangkala mengingkari terhadap sesuatu yang dijadikan dalil (pijakan).
Berangkat dari faktor-faktor di atas, ulama Islam sangat membutuhkan perumusan kaidah-kaidah bahasa yang bisa mengantarkan untuk memahami nas}-nas} syariah dan juga kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan tentang dalil syara’, syarat beristidla>l (menggali hukum) dan metode penggalian hukum.
Sebenarnya menurut Syafe’i, jauh sebelum dibukukannya ushul fiqh, ulama-ulama terdahulu telah membuat teori-teori ushul yang dipegang oleh para pengikutnya masing-masing. Tak heran jika pengikut para ulama tersebut mengklaim bahwa gurunyalah yang pertama menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh.
Golongan H}anafiyah misalnya, mengklaim bahwa yang pertama menyusun ilmu ushul fiqh ialah Abu> H}ani>fah, Abu> Yu>suf dan Muh}ammad bin H}asan. Alasan mereka bahwa Abu> H}ani>fah merupakan orang yang pertama menjelaskan metode istinba>t} dalam bukunya al-Ra’yu, dan Abu> Yu>suf adalah orang yang pertama menyusun ushul fiqh dalam madhhab H}anafi>, demikian pula Muh}ammad bin H}asan telah menyusun kitab ushul fiqh sebelum al-Sha>fii>, bahkan al-Sha>fii> berguru kepadanya.
Golongan Ma>likiyah juga mengklaim bahwa imam Ma>lik adalah orang pertama yang berbicara tentang ushul fiqh. Namun, mereka tidak mengklaim bahwa imam Ma>lik sebagai orang pertama yang menyusun kitab ushul fiqh.
Golongan Sha>fiiyah-pun mengklaim bahwa imam Sha>fii-lah orang pertama yang menyusun kitab ushul fiqh. Hal ini diungkapkan oleh Abd al-Rah}man al-Asnawi>. Menurutnya: Tidak diperselisihkan lagi, imam al-Sha>fii> adalah tokoh besar yang pertama-tama menyusun kitab dalam ushul fiqh, yaitu kitab yang tidak asing lagi dan telah sampai pada kita sekarang, yakni kitab al-Risa>lah.
Pendapat Khalla>f , bahwa orang yang pertama kali mengumpulkan ilmu ushul fiqh dalam satu buku pisah dengan fan/kajian lainnya adalah Abu> Yu>suf sahabat Abu> H}ani>fah. Akan tetapi, hasil rangkumannya itu tidak sampai pada kita sekarang. Sedangkan, orang yang pertama kali membukukan ilmu ushul fiqh dalam satu buku tersendiri yang memuat tentang kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan dengan sistematis berikut dalil dan pandangannya adalah imam Muh}ammad bin Idri>s al-Sha>fii> dalam karya monumentalnya “al-Risa>lah”.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kitab al-Risa>lah merupakan kitab yang pertama-tama tersusun secara sempurna dalam ilmu ushul fiqh. Kitab ini tersusun dengan metode tersendiri objek pembahasan dan permasalahannya juga tersendiri, tanpa terkait dengan kitab-kitab fiqh manapun.

Tahapan-tahapan Perkembangan Ushul Fiqh
Setelah dibukukannya al-Risa>lah, maka banyak ulama lainnya yang juga menyusun ilmu ushul fiqh sebagai disiplin ilmu. Syafe’i mengatakan secara garis besar, perkembangan ushul fiqh dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu: tahap awal (abad III H), tahap perkembangan (abad IV H) dan tahap penyempurnaan (abad V H) . jelasnya, ialah:

Tahap Awal (abad III H)
Pada abad III H, di bawah pemerintahan Abbasiyah wilayah Islam semakin meluas ke bagian Timur. Khalifah-khalifah Abbasiyah yang berkuasa dalam abad ini adalah: al-Ma’mu>n (w. 218 H), al-Mu’tas}im (w. 227 H), al-Wa>thiq (w. 232 H), dan al-Mutawakkil (w. 247 H). pada masa mereka inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah di kalangan Islam, yang dimulai sejak masa pemerintahan Khalifah al-Rashi>d. Kebangkitan pemikiran pada masa ini ditandai dengan timbulnya semangat penerjemahan di kalangan ilmuwan Muslim. Di samping itu, ilmu-ilmu keagamaan juga berkembang dan semakin meluas objek pembahasannya. Hampir dapat dikatakan bahwa tidak ada ilmu keislaman yang berkembang sesudah Abbasiyah, kecuali yang telah dirintis atau diletakkan dasar-dasarnya pada zaman dinasti Abbasiyah.
Salah satu hasil dari kebangkitan berpikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu adalah berkembangnya bidang fiqh, yang pada gilirannya mendorong untuk disusunnya metode berpikir fiqh yang disebut ushul fiqh.
Kitab ushul fiqh yang pertama-tama tersusun secara utuh dan terpisah dari kitab-kitab fiqh ialah al-Risa>lah karya imam al-Sha>fii>. Selain al-Risa>lah, pada abad III H, telah tersusun pula sejumlah kitab ushul fiqh lainnya, misalnya: ‘I>sa Ibn Ibba>n (w. 221 H) menulis kitab Ithba>t al-Qiya>s, Khabar al-Wa>hid dan Ijtiha>d al-Ra’yu, Ibrahi>m Ibn Siya>r al-Naz}z}a>m (w. 221 H) menulis kitab al-Nakt, Daud al-Z}a>hiri> (w. 270 H) menulis kitab al-Ijma>’, Ibt}a>l al-Taqli>d, Ibt}a>l al-Qiya>s, al-Khabar al-Muji>b li al-‘Ilm, al-H}ujjah, al-Khus}u>s} wa al-‘Umu>m, al-Mufassar wa al-Mujmal dan kitab al-Us}u>l, Muh}ammad Ibn Daud al-Z}a>hiri> menulis kitab al-Us}u>l fi> Ma’rifah al-Us}u>l.
Hal lain pada abad ini, ialah lahirnya ulama-ulama besar yang meletakkan dasar berdirinya madhhab-madhhab fiqh. Para pengikut mereka semakin menunjukkan perbedaan dalam mengungkapkan pemikiran ushul fiqh dari para imamnya. Al-Sha>fii> misalnya, tidak menerima cara penggunaan istih}sa>n yang masyhur di kalangan H}anafiyah, sebaliknya H}anafiyah tidak menggunakan cara-cara pengambilan hukum berdasarkan hadith-hadith yang dipegang oleh al-Sha>fii>.
Perbedaan-perbedaan pendapat dan metode yang dimiliki oleh masing-masing aliran merupakan salah satu pendorong semangat pengkajian ilmiah di kalangan ulama pada abad III H.

Tahap Perkembangan (abad IV H)
Abad IV H, merupakan abad permulaan kelemahan dinasti Abbasiyah dalam bidang politik. Pada abad ini dinasti Abbasiyah terpecah-pecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian, kelemahan bidang politik ini tidak mempengaruhi perkembangan semangat keilmuan di kalangan para ulama ketika itu.
Abad IV H, mempunyai karakteristik tersendiri dalam karangka sejarah tashri>’ Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan ijtihad mutlak berhenti pada abad ini. Oleh karenannya, tidak bisa diingkari bahwa pintu ijtihad pada periode telah tertutup. Akibatnya bagi perkembangan fiqh Islam adalah sebagai berikut:
1. Kegiatan para ulama terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada, mereka cenderung hanya mensyarahkan (memberi komentar) kitab-kitab terdahulu atau memahami dan meringkasnya.
2. Menghimpun masalah-masalah furu>’ (cabang) yang sekian banyaknya dalam uraian yang singkat.
3. Memperbanyak pengandaian–pengandaian dalam beberapa masalah.

Keadaan tersebut, sangat jauh berbeda di bidang ushul fiqh. Terhentinya ijtihad dalam fiqh dan adanya usaha-usaha untuk meneliti pendapat-pendapat para ulama terdahulu dan mentarjihkannya justru memainkan peranan yang sangat besar dalam bidang ushul fiqh. Hal ini karena dalam meneliti dan mentarjih pendapat para ulama terdahulu, diperlukan penelusuran sampai pada akar-akarnya dan pengevaluasian kaidah-kaidah ushul yang menjadi dasarnya. Dengan demikian, semakin berkembanglah ilmu ushul yang menjadi dasarnya dan dengan sendirinya ushul fiqh-pun semakin berkembang, apalagi masing-masing madhhab menyusun kitab ushul fiqh.
Sebagai tanda berkembangnya ilmu ushul fiqh dalam abad IV H, ini, yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan hasil karya dari para ulama fiqh. Kitab-kitab yang paling terkenal di antaranya ialah:
 Kitab Us}u>l al-Karkhi> karya Abu> al-H}asan ‘Ubaydillah Ibn al-H}usayn al-Karkhi> (w. 340 H). Kitab ini bercorak H}anafiyah, memuat 39 kaidah-kaidah ushul fiqh.
 Kitab al-Fus}u>l fi> al-Us}u>l karya Ah}mad Ibn ‘Ali> Abu> Bakr yang dikenal dengan sebutan imam al-Jas}s}a>s} (w. 370 H). Kitab ini juga bercorak H}anafiyah.
 Kitab Baya>n Kashf al-Alfa>z} karya Abu> Muh}ammad Badr al-Di>n Mah}mu>d Ibn Ziya>d al-H}anafi>.

Tahap Penyempurnaan (abad 5-6 H)
Kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah-daulah kecil, membawa arti bagi perkembangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tidak lagi berpusat di Baghdad, tetapi juga di kota-kota, seperti Kairo, Bukhara,Ghaznah dan Markusy. Hal itu, disebabkan adanya perhatian besar dari para sultan, raja-raja penguasa daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.
Salah satu dampak dari perkembangan itu ialah kemajuan di bidang ilmu ushul fiqh yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mendalaminya, antara lain: al-Ba>qila>ni>, al-Qa>d}i> ‘Abd al-Jabba>r, ‘Abd al-Wahha>b al-Baghdadi>, ‘Abu> Zayd al-Dabbu>si>, ‘Abu> H}usayn al-Bas}ri>, imam al-H}aramayn, ‘Abd al-Malik al-Juwayni>, ‘Abu> H}a>mid al-Ghaza>li> dan lain-lainnya.
Kitab ushul fiqh yang ditulis pada zaman ini, di samping mencerminkan adanya kitab ushul fiqh bagi masing-masing madhhabnya, juga menunjukkan adanya dua aliran ushul fiqh, yakni aliran H}anafiyah yang dikenal sebagai aliran fuqaha dan aliran mutakallimin.
Dalam sejarah perkembangan ilmu ushul fiqh, pada abad V dan VI H, ini merupakan periode penulisan kitab ushul fiqh terpesat, yang di antaranya terdapat kitab-kitab yang menjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqh selanjutnya.
Kitab-kitab ushul fiqh yang paling penting, antara lain sebagai berikut:
 Kitab al-Mughni> fi> al-Abwa>b al-‘Adl wa al-Tawd}i>h karya al-Qa>d}i> ‘Abd al-Jabba>r (w. 415 H).
 Kitab al-Mu’tamad fi> Us}u>l al-Fiqh karya Abu> al-H}usayn al-Bas}ri> (w. 436 H).
 Kitab al-I>da>f fi> Us}u>l al-Fiqh karya Abu> Muh}ammad Ya’la al-Farra>’ (w. 458 H). Ia dianggap sebagai ulama besar dalam madhhab pada abad V H, dan pengaruhnya di kalangan H}anbali> sangat besar dan berlanjut sampai ke generasi sunni sesudahnya khususnya pengikut H}anbali>.
 Kitab al-Burha>n fi> Us}u>l al-Fiqh karya ‘Abd al-Malik Ibn ‘Abdillah al-Juwayni> imam al-H}aramayn (w. 478 H).
 Kitab al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}u>l karya Abu> H}a>mid al-Ghaza>li> (w. 505 H).

Dari uraian di atas, bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa perkembangan ushul fiqh dalam dunia Islam terjadi dalam beberapa tahapan dan masing-masing tahapan tanpak jelas perbedaannya dari sebelum dan sesudahnya, misalnya: Tahap pertama, ilmu ushul fiqh telah berhasil dibukukan dengan sempurna dan sistematis berkat usaha dari imam al-Sha>fii> yang kemudian diteruskan oleh para ulama sesudahnya Tahap kedua, sebagai dampak dari tertutupnya ijtihad justru para ulama termotivasi untuk menelaah dan mengkaji ulang hukum-hukum yang telah dihasilkan dan diputuskan oleh ulama terdahulunya khususnya imam madhhabnya dengan mengkaji dasar-dasar istinbat hukum tersebut. Yang terakhir tahap ketiga, yaitu tahap penyempurnaan, dalam tahap ini sebagaimana dijeaskan di atas bahwa dalam sejarah perkembangan ilmu ushul fiqh, pada abad V dan VI H, ini merupakan periode penulisan kitab ushul fiqh terpesat.

HUKUM TRANSPLANTASI DALAM HUKUM ISLAM (FIQH)

Oleh: Nur Kholis, Lc., M.HI.
Pendahuluan
Mengukir sejarah dalam kehidupan bukan suatu hal yang mudah sebagaimana membalik kedua telapak tangan atau segampang yang dibayangkan, lebih-lebih pada masa sekarang semuanya serba maju dan berkembang terutama dalam IpTek (Ilmu pengetauan dan Tehnologi). Akan tetapi, kemarin tepatnya hari Sabtu (24/4/2010) RSU dr Soetomo, mampu mengukir sejarah yang sangat cemerlang yaitu melakukan operasi cangkok hati dari seorang ibu kepada anaknya. Hal sejarah tersebut, sebagaimana diungkapkan Wakil Gubernur Jatim, Saifullah Yusuf (Gus Ipul) "Ini adalah sejarah RSU dr Soetomo dan sejarah para dokter. Ini pertama kali di Surabaya. Jatim ukir sejarah,"
Transplantasi merupakan salah satu temuan teknologi kedokteran modern dengan metode kerja berupa pemindahan jaringan atau organ tubuh dari satu tempat ke tempat lainnya. Hal ini dapat dilakukan pada satu individu atau dua individu. Transplantasi dilakukan dengan tujuan pengobatan penyakit sebagai berikut :
1. Pengobatan serius, jika tidak dilakukan transplantasi maka akan berakibat pada kematian. Seperti transplantasi jantung, ginjal dan hati.
2. Pengobatan yang dilakukan untuk menghindari cacat fisik yang akan menimbulkan gangguan psikologi pada penderita, seperti transplantasi kornea mata, dan menambal bibir sumbing. Transplantasi jenis ini dilakukan bukan untuk menghindari kematian, tetapi sekedar pengobatan untuk menghindari cacat seumur hidup.
Pada tahun 40-an telah diadakan pengujian transplantasi organ hewan pada hewan juga kemudian disusul pada tahun 50-an dari hewan ke manusia dan berhasil dan berkembang dari organ manusia kepada organ manusia.
Dari keberhasilan uji coba tersebut, timbul satu masalah baru yang perlu dikaji dalam kaitannya dengan hukum Islam. Apakah transplantasi organ tubuh manusia kepada manusia dibolehkan dalam hukum Islam atau tidak ?.
Kalau kita lihat dalam literatur Arab transplantasi bukan suatu hal yang baru. Karena, pada abad VI H., masalah tersebut sudah dibahas dalam literatur Arab. Akan tetapi, transplantasi tidak menjadi perbincangan publik karena transplantasi merupakan fiqh iftirad}i> (pengandaian) yang biasa didapatkan dalam literatur Arab dan kemungkinan terjadinya tidak bisa dipastikan dengan kapan dan di mana.

Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, sebenarnya banyak masalah yang berkaitan dengan transplantasi yang harus dikaji hukumnya khususnya yang berkaitan dengan hukum Islam. Dalam tulisan ini penulis hanya fokus pada salah satu masalah atau bagian dari masalah-masalah transplantasi. Masalah yang penulis akan kaji khususnya yang berkaitan dengan hukum Islam, ialah :
Bagaimana pendapat ulama fiqh (pakar hukum Islam) berkenaan dengan praktek transplantasi?.

Bab. II
PEMBAHASAN
Transplantasi

1. Pengertian Transplantasi
Transplantasi berasal dari bahasa Inggris to transplant, yang berarti to move from one place to another, bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Adapun pengertian menurut ahli ilmu kedokteran, transplantasi itu ialah : Pemindahan jaringan atau organ dari tempat satu ke tempat lain. Yang dimaksud jaringan di sini ialah : Kumpulan sel-sel (bagian terkecil dari individu) yang sama mempunyai fungsi tertentu.
Yang dimaksud organ ialah : Kumpulan jaringan yang mempunyai fungsi berbeda sehingga merupakan satu kesatuan yang mempunyai fungsi tertentu, seperti jantung, hati dan lain-lain.
Sedangkan transplantasi dalam literatur Arab kontemporer dikenal dengan istilah naql al-a’d{a’ atau juga disebut dengan zar’u al-a’d{a’ . Kalau dalam literatur Arab klasik transplantasi disebut dengan istilah al-was}l (penyambungan). Adapun pengertian transplantasi secara terperinci dalam literatur Arab klasik dan kontemporer sama halnya dengan keterangan ilmu kedokteran di atas. Sedang transplantasi di Indonesia lebih dikenal dengan istilah pencangkokan.

2. Pembagian Transplantasi
Melihat dari pengertian di atas, Djamaluddin Miri membagi transplantasi itu pada dua bagian :
1. Transplantasi jaringan seperti pencangkokan kornea mata.
2. Transplantasi organ seperti pencangkokan organ ginjal, jantung dan sebagainya.
Melihat dari hubungan genetik antara donor (pemberi jaringan atau organ yang ditransplantasikan) dari resipien (orang yang menerima pindahan jaringan atau organ), ada tiga macam pencangkokan :
1. Auto transplantasi, yaitu transplantasi di mana donor resipiennya satu individu. Seperti seorang yang pipinya dioperasi, untuk memulihkan bentuk, diambilkan daging dari bagian badannya yang lain dalam badannya sendiri.
2. Homo transplantasi, yakni di mana transplantasi itu donor dan resipiennya individu yang sama jenisnya, (jenis di sini bukan jenis kelamin, tetapi jenis manusia dengan manusia).
Pada homo transplantasi ini bisa terjadi donor dan resipiennya dua individu yang masih hidup, bisa juga terjadi antara donor yang telah meninggal dunia yang disebut cadaver donor, sedang resipien masih hidup.
3. Hetero transplantasi ialah yang donor dan resipiennya dua individu yang berlainan jenisnya, seperti transplantasi yang donornya adalah hewan sedangkan resipiennya manusia.
Pada auto transplantasi hampir selalu tidak pernah mendatangkan reaksi penolakan, sehingga jaringan atau organ yang ditransplantasikan hampir selalu dapat dipertahankan oleh resipien dalam jangka waktu yang cukup lama..
Pada homo transplantasi dikenal tiga kemungkinan :
1. Apabila resipien dan donor adalah saudara kembar yang berasal dari satu telur, maka transplantasi hampir selalu tidak menyebabkan reaksi penolakan. Pada golongan ini hasil transplantasinya serupa dengan hasil transplantasi pada auto transplantasi.
2. Apabila resipien dan donor adalah saudara kandung atau salah satunya adalah orang tuanya, maka reaksi penolakan pada golongan ini lebih besar daripada golongan pertama, tetapi masih lebih kecil daripada golongan ketiga.
3. Apabila resipien dan donor adalah dua orang yang tidak ada hubungan saudara, maka kemungkinan besar transplantasi selalu menyebabkan reaksi penolakan.
Pada waktu sekarang homo transplantasi paling sering dikerjakan dalam klinik, terlebih-lebih dengan menggunakan cadaver donor, karena :
1. Kebutuhan organ dengan mudah dapat dicukupi, karena donor tidak sulit dicari.
2. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, terutama dalam bidang immunologi, maka reaksi penolakan dapat ditekan seminimal mungkin.
Pada hetero transplantasi hampir selalu meyebabkan timbulnya reaksi penolakan yang sangat hebat dan sukar sekali diatasi. Maka itu, penggunaanya masih terbatas pada binatang percobaan. Tetapi pernah diberitakan adanya percobaan mentransplantasikan kulit babi yang sudah di iyophilisasi untuk menutup luka bakar yang sangat luas pada manusia.
Sekarang hampir semua organ telah dapat ditransplantasikan, sekalipun sebagian masih dalam taraf menggunakan binatang percobaan, kecuali otak, karena memang tehnisnya amat sulit. Namun demikian pernah diberitakan bahwa di Rusia sudah pernah dilakukan percobaan mentransplantasikan kepala pada binatang dengan hasil baik.

3. Pendapat Ulama Tentang Transplantasi
Para ulama fiqh (pakar hukum Islam) klasik sepakat bahwa menyambung organ tubuh manusia dengan organ manusia boleh selama organ lainnya tidak didapatkan. Sedangkan pakar hukum Islam kontemporer berbeda pendapat akan boleh dan tidaknya transplantasi organ tubuh manusia. Berikut ini pernyataan para pakar hukum Islam klasik dan kontemporer:
Imam al-Nawawi> (w. abad VI) dalam karyanya Minha>j al-T}a>libi>n mengatakan,
ولو وصل عظمه بنجس لفقد الطاهر فمعذور وإلا وجب نزعه إن لم يخف ضررا ظاهرا قيل وإن خاف, فإن مات لم ينزع على الصحيح.
“Jika seseorang menyambung tulangnya dengan barang yang najis karena tidak ada barang yang suci maka hukumnya udhu>r (tidak apa-apa). Namun, apabila ada barang yang suci kemudian disambung dengan barang yang najis maka wajib dibuka jika tidak menimbulkan bahaya”.

Zakariya> al-Ans}ari> (abad IX) dalam karyanya Fathu al-Wahha>b Sharh Manhaj al-T}ulla>b, kitab Manhaj al-T}ulla>b merupakan kitab ringkasan dari kitab Minha>j al-T}a>libi>n karya imam al-Nawawi (w. abad VI). Zakariya> mengatakan :
ولو وصل عظمه لحاجة إلى وصله بنجس من عظم لا يصلح للوصل غيره عذر في ذلك فتصح صلاته معه وإلا بأن لم يحتج أو وجد صالحا غيره من غير أدمي وجب عليه نزع النجس وإن اكتسى لحما إن أمن من نزعه ضررا يبيح التيمم ولم يمت
“Jika ada seseorang melakukan penyambungan tulangnya atas dasar butuh dengan tulang yang najis dengan alasan tidak ada tulang lain yang cocok. Maka hal itu, diperbolehkan dan sah sholatnya dengan tulang najis tersebut. Kecuali, jika dalam penyambungan itu tidak ada unsur kebutuhan atau ada tulang lain yang suci selain tulang manusia maka ia wajib membuka (mencabut) kembali tulang najis tersebut walaupun sudah tertutup oleh daging. Dengan catatan, jika proses pengambilan tulang najis tersebut aman (tidak membahayakan) dan tidak menyebabkan kematian”.

Al-Bujayrami>, dalam komentarnya atas ‘iba>rah (teks) kitab Fathu al-Wahha>b di atas, mengatakan bahwa tidak diperbolehkannya menyambung tulang dengan tulang manusia, jika yang lain masih ada walaupun tulangnya hewan yang najis seperti celeng dan anjing. Oleh karena itu, jika yang lain baik yang suci maupun yang najis tidak ada, maka menyambung tulang dengan tulang manusia itu hukumnya boleh.

Senada dengan Zakariya>, ialah Ibnu Hajr dalam Tuh}fah-nya :
وَعَظْمُ غَيْرِهِ مِنْ الْآدَمِيِّينَ فِي تَحْرِيمِ الْوَصْلِ بِهِ وَوُجُوبِ نَزْعِهِ كَالْعَظْمِ النَّجِسِ وَلَا فَرْقَ فِي الْآدَمِيِّ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ مُحْتَرَمًا أَوْ لَا كَمُرْتَدٍّ وَحَرْبِيٍّ خِلَافًا لِبَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ فَقَدْ نَصَّ فِي الْمُخْتَصَرِ بِقَوْلِهِ وَلَا يَصِلُ مَا انْكَسَرَ مِنْ عَظْمِهِ إلَّا بِعَظْمِ مَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ ذَكِيًّا وَيُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ الْجَبْرُ بِعَظْمِ الْآدَمِيّ مُطْلَقًا فَلَوْ وَجَدَ نَجِسًا يَصْلُحُ وَعَظْمَ آدَمِيٍّ كَذَلِكَ وَجَبَ تَقْدِيمُ الْأَوَّلِ ا هـ وَقَضِيَّتُهُ أَنَّهُ لَوْ لَمْ يَجِدْ نَجِسًا يَصْلُحُ جَازَ الْوَصْلُ بِعَظْمِ الْآدَمِيِّ وَقَوْلُهُ كَالْعَظْمِ النَّجِسِ قَضِيَّتُهُ جَوَازُ الْوَصْلِ بِهِ إذَا فَقَدَ غَيْرَهُ وَامْتِنَاعُهُ إذَا وَجَدَ غَيْرَهُ ( قَوْلُهُ أَوْ مَعَ وُجُودِهِ ، وَهُوَ مِنْ آدَمِيٍّ ) هَذَا إنَّمَا يُقَيِّدُ امْتِنَاعَ الْجَبْرِ بِعَظْمِ الْآدَمِيِّ مَعَ وُجُودِ الصَّالِحِ مِنْ غَيْرِهِ وَلَوْ نَجِسًا وَبَقِيَ مَا لَوْ لَمْ يَجِدُ صَالِحًا غَيْرَهُ فَيَحْتَمِلُ حِينَئِذٍ جَوَازُ الْجَبْرِ بِعَظْمِ الْآدَمِيِّ الْمَيِّتِ كَمَا يَجُوزُ لِلْمُضْطَرِّ أَكْلُ الْآدَمِيِّ الْمَيِّتِ إذَا فَقَدَ غَيْرَهُ وَإِنْ لَمْ يَخْشَ إلَّا مُبِيحَ التَّيَمُّمِ فَقَطْ كَمَا يُفِيدُهُ كَلَامُ الشَّارِحِ الْآتِي فِي مَبْحَثِ الِاضْطِرَارِ وَيَحْتَمِلُ أَنْ يُفَرَّقَ بِبَقَاءِ الْعَظْمِ هُنَا فَالِامْتِهَانُ دَائِمٌ بِخِلَافِ ذَاكَ وَيُؤَيِّدُ الْأَوَّلَ قَوْلُهُ الْآتِي.

Dalam ‘iba>rah (teks) di atas, Ibn Hajr senada dengan al-Bujayrami, bahwa ia memperbolehkan transplantasi organ manusia dengan organ manusia dalam keadaan jika sesuatu yang suci dan yang najis tidak ada. Jika masih ditemukan/ada tulang yang najis maka tidak boleh memakai tulang manusia.

Pakar hukum Islam kontemporer dalam masalah transplantasi boleh dan tidaknya ada dua pendapat :
Pertama, Ibn Ba>z ulama dari Saudi Arabia mengatakan bahwa praktek transplantasi anggota tubuh manusia kepada manusia lainnya yang dilakukan atas dasar kemaslahatan pada orang lain itu tidak boleh berdasarklan hadith Nabi saw :
كسر عظم الميت ككسره حيا.
“Merusak tulang orang mati hukumnya sama dengan merusak tulang orang hidup”.
Hadith tersebut menunjukkan bahwa manusia itu muhtaramah (mulya) hidup dan matinya dan kalaupun si mayyit mewasiatkan anggota tubuhnya untuk diberikan kepada orang lain, maka wasiat itu tidak sah karena manusia tidak mempunyai (hak atas) tubuhnya sendiri dan ahli waris hanya menerima warisan dari mayyit harta peninggalan saja bukan termasuk di dalamnya (warisan) anggota tubuh mayyit.
Kedua, berbeda dengan Ibn Ba>z para pakar hukum Islam kontemporer di antaranya Qard}a>wi>, al-Bu>t}i>, Abd Allah Kanu>n dan Abd Allah al-Faqi>h yang mengatakan bahwa praktek transplantasi boleh dan kebolehannya itu bersifat muqayyad (bersyarat). Seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan bahaya, kesulitan dan kesengsaraan bagi dirinya atau bagi seseorang yang punya hak tetap atas dirinya misalnya suami atau orang tua.
Qard}a>wi> dalam fatwanya mengatakan : Ada yang mengatakan bahwa diperbolehkannya seseorang mendermakan atau mendonorkan sesuatu ialah apabila itu miliknya. Maka, apakah seseorang itu memiliki tubuhnya sendiri sehingga ia dapat mempergunakan sekehendak hatinya. Lanjut Qard}a>wi>, perlu diperhatikan bahwa meskipun tubuh merupakan titipan dari Allah, tetapi manusia diberi wewenang untuk memanfaatkan dan mempergunakannya, sebagaimana harta. Sebagaimana manusia boleh mendermakan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya, maka diperkenankan juga seseorang mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang lain yang memerlukannya. Hanya saja perbedaannya adalah bahwa manusia adakalanya boleh mendermakan atau membelanjakan seluruh hartanya, tetapi dia tidak boleh mendermakan seluruh anggota badannya. Bahkan ia tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan dirinya) untuk menyelamatkan orang sakit dari kematian, dari penderitaan yang sangat atau dari kehidupan yang sengsara.
Sementara hasil keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama sebagaimana termaktub dalam ahkamul fuqaha mengatakan bahwa pecangkokan organ tubuh manusia ada yang membolehkan dengan syarat : Karena diperlukan, dengan ketentuan tertib pengamanan dan tidak ditemukan selain organ tubuh manusia itu.
Dari penjelasan di atas bahwa transpslntasi dalam hukum Islam terdapat perselisihan pendapat dalam hal ini ada yang melarang praktek tersebut secara mutlak berdasarkan hadith Nabi saw dan dalil ‘aqli> bahwa anggota tubuh manusia bukan milik manusia sendiri melainkan hanya titipan Allah yang harus dijaga hidup dan mati.
Sementara pakar hukum Islam lainnya mengatakan boleh dengan beberapa syarat seperti dijelaskan di atas, kalau tidak memenuhi syarat-syaratnya maka hukumnya sebagaimana pendapat pertama yaitu tidak boleh.
Termasuk syarat yang memperbolehkan praktek transplantasi menurut banyak pakar hukum Islam yaitu bahwa praktek tersebut dilakukan dengan hibah (pemberian) tanpa adanya jual beli di antara dua pihak pendonor dan resipien namun ada pendapat yang mengatakan bahwa praktek transplantasi boleh dilakukan dengan jual beli.

Bab. III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari penjelasan di atas penulis mengesimpulkan bahwa transplantasi dalam hukum Islam terjadi pertentangan di antara kalangan ulama apakah boleh atau tidak. Kebanyakan ulama baik ulama klasik dan kontemporer mengatakan bahwa trasplantasi organ tubuh manusia dengan organ tubuh hewan yang suci hukumnya boleh. Jika tidak didapatkan maka bisa memakai organ tubuh hewan yang najis seperti celeng dan anjing. Dan jika keduanya (yang suci dan yang najis) juga tidak didapatkan maka bisa menggunakan organ tubuh manusia dengan catatan tidak menimbulkan bahaya baik bagi pendonor begitu juga bagi resipien dan keluarga resipien ikhlas dan rela dengan pendonoran tersebut.

Daftar Pustaka
Abu Dawud. Sunan Abi Dawud, vol. II. tt. Dar al-Fikr, tt.
Al-Ans}a>ri>, Zakariya> . Fathu al-Wahhab Sharh Manhaj al-T}ulla>b, vol. 1. Lebanon: Da>r al-Fikr, 1998.
Al-Bujayrami>, Sulayma>n. Ha>shiyah Sharh Manhaj al-T}ulla>b, vol. 1. Lebanon: Da>r al-Fikr, 1998.
Al-Bu>t}i>, Muhammad. Ma’a al-Na>s, vol. 1. Lebanon: Dar al-Fikr, 1998.
Al-Faqi>h, Abd Allah. Markaz al-Fatwa dalam al-Maktabah al-Shamilah.
Al-Haitami>, Ibnu Hajr. Tuhfah al-Muhta>j dalam al-Maktabah al-Shamilah.
Al-Nawawi>, Yahya. Minha>j al-T}a>libi>n. Lebanon : Dar al-Fikr, 1992.
Miri, Djamaluddin. Ahkamul Fuqaha “Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926 – 2004 M)”. Surabaya: Khalista, 2007.
Al-Sharbi>ni>, Muhammad. Mughni> al-Muhta>j, vol. 1. Dar Ihya’ al-Turath, tt.
Al-Qazwaini>, Muhammad. Sunan Ibn Ma>jah, vol. 1. Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Ibn Ba>z, Abd Azi>z. Majmu>’ Fatawa Ibn Ba>z dalam al-Maktabah al-Shamilah.
Kanu>n, Abd Allah. Majalah al-Buhu>th al-Isla>miyah dalam al-Maktabah al-Shamilah.
Qard}a>wi>, Yusuf. Fatwa Fatwa Kontemporer, vol. 2. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Umar, Hasbi. Nalar Fiqih Kontemporer. Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.
Surabaya Detik dalam http://surabaya.detik.com/read/2010/04/24/123339/1344593/466/dihadiri-wagub-jatim-berharap-cangkok-hati-lancar

About This Blog

About This Blog

  © Blogger template Brooklyn by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP