Jumat, 30 April 2010

USHUL FIQH Definisi, Objek Kajian, Aliran-aliran dan Sejarah Perkembangan

USHUL FIQH
Definisi, Objek Kajian, Aliran-aliran dan Sejarah Perkembangan
Oleh: Nur Kholis, Lc., M.HI.

Mukadimah
Sebagaimana dikatakan Abdul Wahha>b Khalla>f dalam karyanya Ushul Fiqh : Mayoritas ulama Islam dari berbagai aliran sepakat bahwa segala aktifitas manusia baik berupa ucapan dan tindakan dalam syariat Islam ada hukum yang mengatur dan mengarahnya. Hukum tersebut, sebagian dijelaskan dalam al-Quran dan hadith dengan jelas dan rinci dan sebagian lain hukum tersebut tidak dijelaskan dengan jelas dan rinci. Akan tetapi, hanya sebatas petunjuk dan isyarat kepada hukum yang nantinya dengan berpegangan pada petunjuk dan isyarat mujtahid mampu menggali atau memunculkan hukum dari al-Quran dan hadith.
Hukum-hukum yang menjelaskan dan mengatur kehidupan manusia baik berupa ucapan bagaimana ia harus menyampaikan dan tindakan bagaimana ia akan melakukan sesuatu semua itu dikumpulkan dalam satu wadah yang disebut dengan fiqh. Oleh karena itu, dikatakan oleh para pakar hukum Islam (fiqh) bahwa fiqh itu sebuah ilmu yang memuat/terdapat di dalamnya hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amaly (perbuatan) yang digali dari dalil yang bersifat tafs}i>ly (perinci) atau fiqh juga bisa dikatakan kumpulan dari hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amaly (perbuatan) yang digali dari dalil yang bersifat tafs}i>ly (perinci).
Survey ulama membuktikan bahwa sumber dalil yang dijadikan sandaran hukum adalah al-Quran, hadith, ijma’ dan qiyas. Oleh karenanya, ulama membahas dan menjelaskan bahwa dalil hukum tersebut adalah hujjah} (pijakan) bagi semua manusia dan sumber hukum syariat yang harus dikuti hasilnya (hukum). Begitu juga, ulama membahas tentang syarat-syarat istidla>l (menggali hukum) dan macam-macam dalil kully.
Juga termasuk pembahasan para ulama, terkait dengan hukum kully yang digali dari dalil kully , kaidah-kaidah bahasa dan kaidah-kaidah syara’ yang dengan mengaplikasikannya dapat memahami hukum dari dalilnya, dan juga, ulama membahas siapa yang bisa dan mampu untuk menggali hukum dari dalilnya.
Kumpulan kaidah dan pembahasan di atas tersebut terangkum dalam sebuah disiplin ilmu yaitu ushul fiqh.

Definisi Ushul Fiqh :
Ta>juddi>n al-Subki> dalam jam’u al-jawa>mi’ mendefinisikan ushul fiqh dengan :
دلائل الفقه الإجمالية
“Dalil-dalil fiqh secara global”
Mah}alli> dalam komentarnya atas jam’u al-jawa>mi’ menjelaskan bahwa maksud definisi ushul fiqh yang dilontarkan al-Subki> di atas, ushul fiqh, ilmu yang menjelaskan tentang dalil-dalil fiqh yang global misalnya kemutlakan perintah menunjukkan wajib, larangan menunjukkan haram, ijma’ dan qiyas. Ushul fiqh tidak membahas tentang dalil-dalil fiqh yang terperinci misalnya aqi>mu> al-s}alah (kerjakan sholat) dan wa la> taqrabu> al-zina (jauhi perzinahan).
Muh}ammad al-Khud}ari> Beik mengatakan bahwa ushul fiqh ialah :
أصول الفقه هو القواعد التي يتوصل بها إلى استنباط الأحكام الشرعية من الأدلة.
“Kaidah-kaidah yang bisa dibuat untuk menggali hukum syara’ dari dalilnya” .

Maksud kaidah tersebut, ialah ketentuan universal (kulli>) yang bersesuain dengan bagian-bagiannya ketika diketahui hukum bagian-bagiannya. Misalnya, perintah adalah wajib, hal ini merupakan ketentuan universal yang sesuai dengan bagian-bagiannya sebagaimana firman Allah dalam al-Quran bahwa aqi>mu> al-s}ala>h (dirikanlah sholat) dan a>tu> al-zaka>h (keluarkan zakat).
Sedangkan cara menggunakan ketentuan-ketentuan universal dalam menggali hukum syara’ ialah, firman Allah أقيموا (aqi>mu>) kalimat perintah yang menunjukkan makna t}alab (tuntutan) yaitu kerjakan dan tidak ada tanda-tanda yang mengalihkan perkataan dari makna perintah kepada makna lainnya. Oleh karena itu, setiap kalimat yang menunjukkan arti perintah selama tidak ada hal yang mengalihkan dari makna asalnya maka kalimat tersebut menunjukkan wajib. Hasilnya, bahwa aqi>mu> menuntut wajibnya pekerjaan yang dituntut aqi>mu> yaitu sholat. Akhirnya, hasillah sebuah hukum yang dikandung dalam lafaz} aqi>mu> bahwa sholat itu wajib.

أصول الفقه في الاصطلاح الشرعي هو العلم بالقواعد والبجوث التي يتوصل بها إلى استفادة الأحكام الشرعية العملية من أدلتها التفصيلية . أو هو مجموعة القواعد والبجوث التي يتوصل بها إلى استفادة الأحكام الشرعية العملية من أدلتها التفصيلية.

“Ushul fiqh dalam istilah syara’ ialah ilmu tentang kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan yang dengannya bisa menggali sebuah hukum syara’ yang bersifat ‘amaly (perbuatan) dari dalil-dalilnya yang terperinci. Atau ushul fiqh merupakan kumpulan dari kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan yang dengannya bisa menggali sebuah hukum syara’ yang bersifat ‘amaly (perbuatan) dari dalil-dalilnya yang terperinci”.

Dari definisi ushul fiqh di atas, terdapat perbedaan istilah. Al-Subki> mengatakan bahwa ushul fiqh ialah dalli-dalil sementara Khud}ari Beik mengatakan bahwa ushul fiqh ialah kaidah-kaidah dan Khalla>f memberi pengertian lebih rinci lagi daripada pengertian Khud}ari beik bahwa ushul fiqh adalah sebuah disiplin ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan atau ushul fiqh adalah kumpulan kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan. Namun hakikatnya, mereka sepakat bahwa ushul fiqh adalah sebuah disiplin ilmu yang membahas tentang dalil atau kaidah yang digunakan untuk menggali hukum syara’, cara penggunaan dalil atau kaidah dalam beristinbat (menggali hukum) dan siapa yang bisa/berhak beristinbat.
Ini terbukti dari isi/kandungan karya yang telah ditulis oleh al-Subki> dalam jam’u al-jawa>mi’, Muh}ammad Khud}ari> Beik dalam ushul fiqh dan Abdul Wahha>b Khalla>f dalam ilmu ushul fiqh.

Objek Kajian Ushul Fiqh
Dari definisi di atas bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa obyek kajian ushul fiqh itu sudah terangkum dalam definisi ushul fiqh itu sendiri. Sebagaimana ditulis oleh Rachmat Syafe’i dalam karyanya ilmu ushul fiqih bahwa secara garis besar objek kajian ushul fiqh ada tiga :
1. Sumber hukum dengan semua seluk beluknya.
2. Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari sumbernya.
3. Persyaratan orang yang berwewenang melakukan istinba>t} (penggalian hukum) dengan semua permasalahannya.
Dan lebih rincinya lagi ialah :
1. Sumber-sumber hukum syara’, baik yang disepakati seperti al-Quran dan sunnah, maupun yang diperselisihkan, seperti istihsan dan maslahah mursalah.
2. Pembahasan tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan ijtihad.
3. Mencarikan jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara zahir, ayat dengan ayat atau sunah dengan sunah, dan lain lain baik dengan jalan pengompromian (al-Jam’u wa al-Taufiq), menguatkan salah satu (tarji>h), pengguguran salah satu atau kedua dalil yang bertentangan (nasakh/tasa>qut al-Dali>layn).
4. Pembahasan hukum syara’ yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya, baik yang bersifat tuntutan, larangan, pilihan atau keringanan (rukhsah). Juga dibahas tentang hukum, hakim, mahkum ‘alaih (manusia), dan lain-lain.
5. Pembahasan kaidah-kaidah yang akan digunakan dalm mengistinba>t} hukum dan cara menggunakannya.

Aliran-aliran Ushul Fiqh
Rahmat Syafe’i mengatakan , dalam sejarah perkembangan ushul fiqh, dikenal dua aliran, yang terjadi antara lain akibat adanya perbedaan dalam membangun teori ushul fiqh untuk menggali hukum Islam.
• Aliran pertama, disebut dengan aliran Sha>fiiyah dan jumhur mutakallimi>n (ahli kalam). Aliran ini membangun ushul fiqh secara teoretis murni tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan alasan yang kuat, baik dari dalil naqli> maupun ‘aqli>, tanpa dipengaruhi oleh masalah furu>’ (cabang-cabang) dan madhhab, sehingga adakalanya kaidah tersebut sesuai dengan masalah furu>’ dan adakalanya tidak sesuai. Selain itu, setiap permasalahan yang didukung naqli> dapat dijadikan kaidah.
Kitab standar aliran ini, antara lain: al-Risa>lah karya imam al-Sha>fii>, al-Mu’tamad karya Muh}ammad ibn ‘Ali> al-Bas}ri>, al-Burha>n fi> Us}u>l Fiqh karya imam al-H}aramayn al-Juwayni>, al-Mankhul min Ta’li>qa>t al-Us}u>l karya Abu> H}a>mid al-Ghaza>li>, Shifa>’ al-Ghali>l karya Abu> H}a>mid al-Ghaza>li> dan al-Mustas}fa> karya Abu> Ha>mid al-Gha>zali>.
• Aliran kedua, dikenal dengan istilah aliran fuqaha yang dianut oleh para ulama madhhab Hanafi>. Dinamakan madhhab fuqaha, karena dalam menyusun teorinya aliran ini, banyak dipengaruhi oleh furu>’ yang ada dalam madhhab mereka. Dan aliran ini berusaha untuk menerapkan kaidah-kaidah yang mereka susun terhadap furu>’. Apabila sulit untuk diterapkan, mereka mengubah atau membuat kaidah baru supaya bisa diterapkan pada masalah furu>’ tersebut.
Di antara kitab-kitab standar dalam aliran fuqaha ini, antara lain: al-Us}u>l karya Abu> H}asan al-Karkhi>, al-Us}u>l karya Abu> Bakr al-Jas}s}a>s, Us}u>l al-Sarakhsi> karya al-Sarakhsi> Ta’si>s al-Naz}ar karya Abu> Zayd al-Dabbu>si> dan al-Kashaf al-Asra>r karya al-Bazdawi>.

Sebagian ulama menggabungkan dua aliran di atas dalam satu karya buku, di antaranya: Ah}mad bin ‘Ali> al-Sa>’a>ti> karyanya Badi>’ al-Niz}a>m, kitab yang menggabungkan Ushulnya al-Bazdawi> dan al-Ihka>m, ‘Ubaydillah bin Mas’u>d karyanya Tanqi>h al-Us}u>l kemudian dikomentari sendiri dalam al-Taud}i>h, kitab ringkasan dari Ushul al-Bazdawi}, al-Mah}s}u>l karya al-Razi} dan Mukhtas}ar Ibn al-H}a>jib, Muh}ammad Ibn al-Hamma>m karyanya al-Tah}ri>r dan Ta>j al-Di>n al-Subki> karyanya Jam’u al-Jawa>mi’.
Sedangkan kitab-kitab ushul fiqh kontemporer yang ringkas dan berfaidah, ialah : Irsha>d al-Fuh}u>l ila Tah}qi>q al-H}aq min ‘Ilm al-Us}u>l karya imam Shauka>ni>, Us}u>l Fiqh karya Muh}ammad Khud}ari> Beik dan Tashi>l al-Wus}u>l ila ‘Ilm al-Us}u>l karya Muh}ammad ‘Abdurrahman ‘Abd al-Mah}la>wi>.

Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh
Muh}ammad Khud}ari> Beik , syariat Islam yang ada pada kita sekarang yang telah dibawa dan disampaikan oleh Sayyiduna Muhammad saw dasar utamanya, al-Quran al-Karim dan Rasul telah menjelaskan dan menafsirkan isi kandungan al-Quran dengan sabda dan tindakannya. Al-Quran dan al-Sunnah saling melengkapi maksud dan tujuan firman Allah swt. Dengan begitu, al-Sunnah juga merupakan dasar hukum Islam dan pada keduanya, al-Quran dan al-Sunnah para imam mujtahid bersandar dan berdasar dalam menggali hukum.
Ulama menetapkan bahwa hukum syara’ yang telah diputuskan oleh Sya>ri’ (Allah swt) semuanya mengandung illat yang kembali dan mempertimbangkan kemaslahatan umat manusia. Oleh karena itu, jika terdapat suatu maslahah baru yang belum terdapat hukumnya dalam al-Quran dan al-Sunnah. Akan tetapi, masalah tersebut mengandung sebuah illat yang sama dengan illatnya sebuah hukum yang lama (asal) yang telah ditetapkan hukumnya dalam al-Quran dan al-Sunnah maka masalah baru itu, bisa dihukumi dengan hukumnya masalah lama dengan pertimbangan adanya kesamaan illat. Hal tersebut disebut qiyas. Akhirnya, muncullah dasar yang ketiga dalam hukum Islam, disebut dengan qiyas.
Berdasarkan penetapan para ulama, bahwa para imam mujtahid terma’s}u>m (terjaga) dari kesalahan jika mereka sepakat dalam satu putusan hukum Islam yang berdasarkan al-Quran, al-Sunnah dan atau qiyas. Dengan kesepakatan tersebut, muncullah dasar hukum Islam lain, yang disebut dengan ijma’ (konsensus).
Dari penjelasan di atas, bisa ditarik sebuah pemahaman bahwa dalil hukum itu ada 4: al-Quran, al-Sunnah, qiyas dan ijma’. Namun pada hakekatnya, sebagaimana dikatakan oleh Muh}ammad Khud}ari> Beik bahwa hukum Islam kembali pada 2 dalil: al-Quran dan al-Sunnah.
Al-Quran turun dengan menggunakan bahasa Arab dan dijelaskan oleh Nabi saw dengan menggunakan bahasa Arab pula. Para pakar mufti> (ahli fatwa) masa sahabat semuanya sangat menguasai dan mahir tentang bahasa tersebut baik segi kandungan kalimatnya juga susunan gaya bahasanya. Di samping itu, juga kedekatan para sahabat dengan Rasul saw, pengetahuannya tentang sebab turunnya ayat dan beningnya pikiran sucinya hati mereka sehingga para sahabat Rasul saw tidak butuh pada suatu metode-metode dan kaidah bahasa dalam istinba>t} (menggali) hukum dari sumbernya.
Jika ada permasalahan baru yang belum ada hukumnya, para sahabat mencari dalam al-Quran, jika tidak ditemukan hukumnya mereka cari dalam sunnah Rasul saw dan jika masih belum mereka dapatkan hukumnya mereka melakukan ijtihad yaitu sebuah usaha untuk mengetahui hukum permasalahan baru dengan cara menyamakan permasalaan baru dengan yang lama yang sudah ada hukumnya dengan pertimbangan kesamaan illat dan tetap mengacu pada kemaslahatan umat.
Pernyataan ijtihad sahabat tersebut, sebagaimana digambarkan oleh sahabat Mua’dz bin Jabal, ketika ia akan diutus oleh Rasul saw menuju negeri Yaman. Rasul saw berkata kepada Mua’dz, dengan apa kamu akan memberi keputusan. Mua’dz menjawab, dengan al-Quran, jika tidak aku temukan maka dengan sunnah Rasul saw dan jika tidak aku temukan maka aku akan berijtihad.
Senada dengan pernyataan sahabat Mua’dz di atas, ungkapan yang dilontarkan sahabat ‘Umar bin Khat}t}a>b kepada Abu> Mu>sa> al-Ash’ari> ketika ia ditunjuk sebagai hakim kota ‘Iraq oleh sahabat Umar. Perkataan ‘Umar : Profesi mahkamah merupakan suatu hal yang wajib dan tindak lampah Rasul saw yang harus dipertahankan. Jika terdapat masalah baru yang belum ada hukumnya dalam al-Quran dan al-Sunnah maka pelajari dan ketahui masalah tersebut kemudian qiyaskan dengan permasalahan lama.
Rahmat Syafe’i, menjelaskan dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh , sebagaimana ilmu-ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu ushul fiqh tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak dan berpegang pada al-Quran dan sunah. Dengan kata lain, ushul fiqh tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasul saw dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqh, seperti ijtihad, qiyas dan nasakh dan takhsis suda ada pada zaman Rasul saw dan sahabat.
Kasus yang umum dikemukakan mengenai ijtihad adalah penggunaan ijtihad yang dilakukan oleh Mu’az bin Jabal. Sebagai konsekuensi dari ijtihad ini adalah qiyas, karena penerapan ijtihad dalam persoalan-persoalan yang bersifat juz’iyah harus dengan qiyas.
Adapun pemahaman tentang takhsis dapat dilihat dalam cara Abdullah bin Mas’ud ketika menetapkan iddah wanita hamil. Dia menetapkan bahwa batas iddahnya berakhir ketika ia melahirkan. Pendapat tersebut didasarkan pada ayat 4 dan 6 surat al-Talaq. Menurutnya, ayat ini turun sesudah turunnya ayat tentang iddah yang ada pada surat al-Baqarah ayat 228. dari kasus tersebut terkandung pemahaman ushul, bahwa nas yang datang kemudian dapat menasakh atau mentakhsis yang datang terdahulu.
Pada masa tabi’in, cara mengistinbat hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada yang menempuh metode maslahah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada masa tabi’in inilah mulai tanpak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konsekuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu.
Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau pada masa imam-imam mujtahid. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbat yang digunakan juga semakin jelas bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh metode qiyas dan istihsan. Sementara imam Malik berpegang pada amalan orang-orang Madinah. Menurutnya, amalan mereka lebih dapat dipercaya daripada hadith ahad.
Dari penjelasan di atas, menggambarkan sebagaimana diungkapkan Rahmat Syafe’i bahwa sejak zaman Nabi, sahabat, tabiin dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam suatu tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum berbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.

Pertemuan I.

Pembukuan Ushul Fiqh
Dalam sejarah ilmu ushul fiqh, sebenarnya pada awal abad I Hijriyah, ilmu ushul fiqh belum muncul dipermukaan sebagai disiplin ilmu. Karena, pada abad pertama, ilmu ushul fiqh belum dirasa diperlukan untuk dirumuskan dan dijadikan sebagai disiplin ilmu terangkum dalam sebuah buku tertulis. Walaupun hakekatnya, bahwa hukum Allah yang diturunkan kepada umat manusia dan hukum yang dihasilkan berdasarkan ijtihad Rasul saw dan para sahabatnya mempertimbangkan kemaslahatan dan keberpihakan manusia. Sedangkan maslahah ini, termasuk kajian ilmu ushul fiqh.
Sebagaimana dikatakan Khalla>f , bahwa ilmu ushul fiqh muncul dipermukaan pada abad II H. Karena, pada abad I H, ilmu ushul fiqh belum dibutuhkan. Dengan alasan, pada masa Rasul saw, Rasul saw memberi fatwa pada para sahabat dan memutuskan suatu perkara berdasarkan wahyu yang turun kepada Nabi saw, yaitu al-Quran, juga berdasarkan ilham dari Allah swt yang diaplikasikan dalam bentuk ucapan dan tindakan Nabi saw dan juga berdasarkan ijtihad Nabi saw sendiri tanpa butuh pada teori dan kaidah untuk beristinba>t} (menggali hukum) dan berijtihad.
Para sahabat-pun juga demikian, maksudnya, para sahabat juga tidak membutuhkan pada teori istinba>t} dan kaidah-kaidah berijtihad. Karena kala itu, para sahabat berfatwa dan memutuskan berdasarkan nas}-nas} yang dipahaminya melalui penguasaan dan kemahiran tentang ilmu bahasa tanpa membutuhkan kaidah-kaidah bahasa yang mengantarnya untuk memahami nas}-nas}. Para sahabat juga berfatwa dan memutuskan permasalahan yang belum ada nas}nya berdasakan pengetahuannya tentang sebab turunnya ayat, munculnya hadith, kepahamannya akan maqa>s}id al-Shari>ah (tujuan syara’) dan prinsip/dasar syara’.
Ada beberapa faktor diperlukannya pembukuan ilmu ushul fiqh, di antaranya : Meluasnya wilayah-wilayah Islam dan bercampurnya orang-orang Arab dengan orang-orang non Arab, sehingga, menyebabkan masuknya beberapa kosa kata dan susunan dalam bahasa Arab yang bukan Arab.
Termasuk faktor dibutuhkannya pembukuan ilmu ushul fiqh adalah, munculnya perdebatan antar umat Islam khususnya yang tergabung dalam dua kelompok besar, ahli al-hadith dan ahli al-ra’yu. Sehingga, dampak dari perdebatan tersebut kadangkala di tunjang dengan argumen yang tidak bisa dijadikan dalil (pijakan) dan kadangkala mengingkari terhadap sesuatu yang dijadikan dalil (pijakan).
Berangkat dari faktor-faktor di atas, ulama Islam sangat membutuhkan perumusan kaidah-kaidah bahasa yang bisa mengantarkan untuk memahami nas}-nas} syariah dan juga kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan tentang dalil syara’, syarat beristidla>l (menggali hukum) dan metode penggalian hukum.
Sebenarnya menurut Syafe’i, jauh sebelum dibukukannya ushul fiqh, ulama-ulama terdahulu telah membuat teori-teori ushul yang dipegang oleh para pengikutnya masing-masing. Tak heran jika pengikut para ulama tersebut mengklaim bahwa gurunyalah yang pertama menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh.
Golongan H}anafiyah misalnya, mengklaim bahwa yang pertama menyusun ilmu ushul fiqh ialah Abu> H}ani>fah, Abu> Yu>suf dan Muh}ammad bin H}asan. Alasan mereka bahwa Abu> H}ani>fah merupakan orang yang pertama menjelaskan metode istinba>t} dalam bukunya al-Ra’yu, dan Abu> Yu>suf adalah orang yang pertama menyusun ushul fiqh dalam madhhab H}anafi>, demikian pula Muh}ammad bin H}asan telah menyusun kitab ushul fiqh sebelum al-Sha>fii>, bahkan al-Sha>fii> berguru kepadanya.
Golongan Ma>likiyah juga mengklaim bahwa imam Ma>lik adalah orang pertama yang berbicara tentang ushul fiqh. Namun, mereka tidak mengklaim bahwa imam Ma>lik sebagai orang pertama yang menyusun kitab ushul fiqh.
Golongan Sha>fiiyah-pun mengklaim bahwa imam Sha>fii-lah orang pertama yang menyusun kitab ushul fiqh. Hal ini diungkapkan oleh Abd al-Rah}man al-Asnawi>. Menurutnya: Tidak diperselisihkan lagi, imam al-Sha>fii> adalah tokoh besar yang pertama-tama menyusun kitab dalam ushul fiqh, yaitu kitab yang tidak asing lagi dan telah sampai pada kita sekarang, yakni kitab al-Risa>lah.
Pendapat Khalla>f , bahwa orang yang pertama kali mengumpulkan ilmu ushul fiqh dalam satu buku pisah dengan fan/kajian lainnya adalah Abu> Yu>suf sahabat Abu> H}ani>fah. Akan tetapi, hasil rangkumannya itu tidak sampai pada kita sekarang. Sedangkan, orang yang pertama kali membukukan ilmu ushul fiqh dalam satu buku tersendiri yang memuat tentang kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan dengan sistematis berikut dalil dan pandangannya adalah imam Muh}ammad bin Idri>s al-Sha>fii> dalam karya monumentalnya “al-Risa>lah”.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kitab al-Risa>lah merupakan kitab yang pertama-tama tersusun secara sempurna dalam ilmu ushul fiqh. Kitab ini tersusun dengan metode tersendiri objek pembahasan dan permasalahannya juga tersendiri, tanpa terkait dengan kitab-kitab fiqh manapun.

Tahapan-tahapan Perkembangan Ushul Fiqh
Setelah dibukukannya al-Risa>lah, maka banyak ulama lainnya yang juga menyusun ilmu ushul fiqh sebagai disiplin ilmu. Syafe’i mengatakan secara garis besar, perkembangan ushul fiqh dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu: tahap awal (abad III H), tahap perkembangan (abad IV H) dan tahap penyempurnaan (abad V H) . jelasnya, ialah:

Tahap Awal (abad III H)
Pada abad III H, di bawah pemerintahan Abbasiyah wilayah Islam semakin meluas ke bagian Timur. Khalifah-khalifah Abbasiyah yang berkuasa dalam abad ini adalah: al-Ma’mu>n (w. 218 H), al-Mu’tas}im (w. 227 H), al-Wa>thiq (w. 232 H), dan al-Mutawakkil (w. 247 H). pada masa mereka inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah di kalangan Islam, yang dimulai sejak masa pemerintahan Khalifah al-Rashi>d. Kebangkitan pemikiran pada masa ini ditandai dengan timbulnya semangat penerjemahan di kalangan ilmuwan Muslim. Di samping itu, ilmu-ilmu keagamaan juga berkembang dan semakin meluas objek pembahasannya. Hampir dapat dikatakan bahwa tidak ada ilmu keislaman yang berkembang sesudah Abbasiyah, kecuali yang telah dirintis atau diletakkan dasar-dasarnya pada zaman dinasti Abbasiyah.
Salah satu hasil dari kebangkitan berpikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu adalah berkembangnya bidang fiqh, yang pada gilirannya mendorong untuk disusunnya metode berpikir fiqh yang disebut ushul fiqh.
Kitab ushul fiqh yang pertama-tama tersusun secara utuh dan terpisah dari kitab-kitab fiqh ialah al-Risa>lah karya imam al-Sha>fii>. Selain al-Risa>lah, pada abad III H, telah tersusun pula sejumlah kitab ushul fiqh lainnya, misalnya: ‘I>sa Ibn Ibba>n (w. 221 H) menulis kitab Ithba>t al-Qiya>s, Khabar al-Wa>hid dan Ijtiha>d al-Ra’yu, Ibrahi>m Ibn Siya>r al-Naz}z}a>m (w. 221 H) menulis kitab al-Nakt, Daud al-Z}a>hiri> (w. 270 H) menulis kitab al-Ijma>’, Ibt}a>l al-Taqli>d, Ibt}a>l al-Qiya>s, al-Khabar al-Muji>b li al-‘Ilm, al-H}ujjah, al-Khus}u>s} wa al-‘Umu>m, al-Mufassar wa al-Mujmal dan kitab al-Us}u>l, Muh}ammad Ibn Daud al-Z}a>hiri> menulis kitab al-Us}u>l fi> Ma’rifah al-Us}u>l.
Hal lain pada abad ini, ialah lahirnya ulama-ulama besar yang meletakkan dasar berdirinya madhhab-madhhab fiqh. Para pengikut mereka semakin menunjukkan perbedaan dalam mengungkapkan pemikiran ushul fiqh dari para imamnya. Al-Sha>fii> misalnya, tidak menerima cara penggunaan istih}sa>n yang masyhur di kalangan H}anafiyah, sebaliknya H}anafiyah tidak menggunakan cara-cara pengambilan hukum berdasarkan hadith-hadith yang dipegang oleh al-Sha>fii>.
Perbedaan-perbedaan pendapat dan metode yang dimiliki oleh masing-masing aliran merupakan salah satu pendorong semangat pengkajian ilmiah di kalangan ulama pada abad III H.

Tahap Perkembangan (abad IV H)
Abad IV H, merupakan abad permulaan kelemahan dinasti Abbasiyah dalam bidang politik. Pada abad ini dinasti Abbasiyah terpecah-pecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian, kelemahan bidang politik ini tidak mempengaruhi perkembangan semangat keilmuan di kalangan para ulama ketika itu.
Abad IV H, mempunyai karakteristik tersendiri dalam karangka sejarah tashri>’ Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan ijtihad mutlak berhenti pada abad ini. Oleh karenannya, tidak bisa diingkari bahwa pintu ijtihad pada periode telah tertutup. Akibatnya bagi perkembangan fiqh Islam adalah sebagai berikut:
1. Kegiatan para ulama terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada, mereka cenderung hanya mensyarahkan (memberi komentar) kitab-kitab terdahulu atau memahami dan meringkasnya.
2. Menghimpun masalah-masalah furu>’ (cabang) yang sekian banyaknya dalam uraian yang singkat.
3. Memperbanyak pengandaian–pengandaian dalam beberapa masalah.

Keadaan tersebut, sangat jauh berbeda di bidang ushul fiqh. Terhentinya ijtihad dalam fiqh dan adanya usaha-usaha untuk meneliti pendapat-pendapat para ulama terdahulu dan mentarjihkannya justru memainkan peranan yang sangat besar dalam bidang ushul fiqh. Hal ini karena dalam meneliti dan mentarjih pendapat para ulama terdahulu, diperlukan penelusuran sampai pada akar-akarnya dan pengevaluasian kaidah-kaidah ushul yang menjadi dasarnya. Dengan demikian, semakin berkembanglah ilmu ushul yang menjadi dasarnya dan dengan sendirinya ushul fiqh-pun semakin berkembang, apalagi masing-masing madhhab menyusun kitab ushul fiqh.
Sebagai tanda berkembangnya ilmu ushul fiqh dalam abad IV H, ini, yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan hasil karya dari para ulama fiqh. Kitab-kitab yang paling terkenal di antaranya ialah:
 Kitab Us}u>l al-Karkhi> karya Abu> al-H}asan ‘Ubaydillah Ibn al-H}usayn al-Karkhi> (w. 340 H). Kitab ini bercorak H}anafiyah, memuat 39 kaidah-kaidah ushul fiqh.
 Kitab al-Fus}u>l fi> al-Us}u>l karya Ah}mad Ibn ‘Ali> Abu> Bakr yang dikenal dengan sebutan imam al-Jas}s}a>s} (w. 370 H). Kitab ini juga bercorak H}anafiyah.
 Kitab Baya>n Kashf al-Alfa>z} karya Abu> Muh}ammad Badr al-Di>n Mah}mu>d Ibn Ziya>d al-H}anafi>.

Tahap Penyempurnaan (abad 5-6 H)
Kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah-daulah kecil, membawa arti bagi perkembangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tidak lagi berpusat di Baghdad, tetapi juga di kota-kota, seperti Kairo, Bukhara,Ghaznah dan Markusy. Hal itu, disebabkan adanya perhatian besar dari para sultan, raja-raja penguasa daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.
Salah satu dampak dari perkembangan itu ialah kemajuan di bidang ilmu ushul fiqh yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mendalaminya, antara lain: al-Ba>qila>ni>, al-Qa>d}i> ‘Abd al-Jabba>r, ‘Abd al-Wahha>b al-Baghdadi>, ‘Abu> Zayd al-Dabbu>si>, ‘Abu> H}usayn al-Bas}ri>, imam al-H}aramayn, ‘Abd al-Malik al-Juwayni>, ‘Abu> H}a>mid al-Ghaza>li> dan lain-lainnya.
Kitab ushul fiqh yang ditulis pada zaman ini, di samping mencerminkan adanya kitab ushul fiqh bagi masing-masing madhhabnya, juga menunjukkan adanya dua aliran ushul fiqh, yakni aliran H}anafiyah yang dikenal sebagai aliran fuqaha dan aliran mutakallimin.
Dalam sejarah perkembangan ilmu ushul fiqh, pada abad V dan VI H, ini merupakan periode penulisan kitab ushul fiqh terpesat, yang di antaranya terdapat kitab-kitab yang menjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqh selanjutnya.
Kitab-kitab ushul fiqh yang paling penting, antara lain sebagai berikut:
 Kitab al-Mughni> fi> al-Abwa>b al-‘Adl wa al-Tawd}i>h karya al-Qa>d}i> ‘Abd al-Jabba>r (w. 415 H).
 Kitab al-Mu’tamad fi> Us}u>l al-Fiqh karya Abu> al-H}usayn al-Bas}ri> (w. 436 H).
 Kitab al-I>da>f fi> Us}u>l al-Fiqh karya Abu> Muh}ammad Ya’la al-Farra>’ (w. 458 H). Ia dianggap sebagai ulama besar dalam madhhab pada abad V H, dan pengaruhnya di kalangan H}anbali> sangat besar dan berlanjut sampai ke generasi sunni sesudahnya khususnya pengikut H}anbali>.
 Kitab al-Burha>n fi> Us}u>l al-Fiqh karya ‘Abd al-Malik Ibn ‘Abdillah al-Juwayni> imam al-H}aramayn (w. 478 H).
 Kitab al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}u>l karya Abu> H}a>mid al-Ghaza>li> (w. 505 H).

Dari uraian di atas, bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa perkembangan ushul fiqh dalam dunia Islam terjadi dalam beberapa tahapan dan masing-masing tahapan tanpak jelas perbedaannya dari sebelum dan sesudahnya, misalnya: Tahap pertama, ilmu ushul fiqh telah berhasil dibukukan dengan sempurna dan sistematis berkat usaha dari imam al-Sha>fii> yang kemudian diteruskan oleh para ulama sesudahnya Tahap kedua, sebagai dampak dari tertutupnya ijtihad justru para ulama termotivasi untuk menelaah dan mengkaji ulang hukum-hukum yang telah dihasilkan dan diputuskan oleh ulama terdahulunya khususnya imam madhhabnya dengan mengkaji dasar-dasar istinbat hukum tersebut. Yang terakhir tahap ketiga, yaitu tahap penyempurnaan, dalam tahap ini sebagaimana dijeaskan di atas bahwa dalam sejarah perkembangan ilmu ushul fiqh, pada abad V dan VI H, ini merupakan periode penulisan kitab ushul fiqh terpesat.

0 komentar:

About This Blog

About This Blog

  © Blogger template Brooklyn by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP