Kamis, 04 Februari 2010

RABITHAH


Dikutip dan diterjemahkan dari kitab al-Baqiyatush Shalihat,
karya al-Syaikh al-Murabbi al-Mursyid al-Mujaddid fi Hadzal Qarni
Hadhratusy Syaikh Achmad Asrori al-Ishaqy
-Radhiallaahhu 'AnHhu Wa Adim 'IzzaHhu Wa BarakataHhu Wa KaramataHhu Wa TasharrufaHhu Fid Diin Wad Dunya Wal Barzah Wal Akhirah, Aamiin Alfa Alfi Aamiin Ya Rabbal 'Aalamiin-

Robithah merupakan istilah dari ikatan dan jalinan rohani seorang salik dengan gurunya, dengan selalu menjaga dan menghadirkan Guru Mursyidnya dalam ingatannya atau dalam hatinya, atau dengan membayangkan suatu sosok  bahwa ia adalah Guru Mursyidnya. Ketika rabithah sudah mewarnai dan menjiwai seorang salik, maka ia akan dapat melihat Guru Mursyidnya pada segala sesuatu.
Oleh karenanya, para ulama ahli haqiqat RA berkata: "Fana' pada Guru Mursyidnya merupakan permulaan fana' pada Allah." Yakni, fana' pada Guru Mursyid merupakan permulaan, pembuka dan perantara yang dapat menghantarkan fana' menuju keharibaan Baginda Habibillah Rasulillah Muhammad SAW menuju kehadirat Allah SWT."
Hanya berdzikir saja tanpa disertai dengan rabithah dan tanpa disertai dengan fana' pada Guru Mursyid tidak akan pernah mendekatkan, menghantarkan dan menyampaikan salik di sisi Allah SWT. Adapun ber-rabithah yang disertai dengan adab-adab berkumpul dan berguru, niscaya akan mencukupi dan memenuhi salik dalam mendekatkan, menghantarkan dan menyampaikannya di sisi Allah SWT .
Ketahuilah, bahwa rabithah adalah cara yang paling elegan dalam berthariqah, cara yang paling mudah  dalam meraih hakikat-hakikat makna, dan tempat permulaan tampaknya makna-makna keajaiban, serta tempat tumbuh dan terbitnya makna-makna keindahan.
Al-'Arif Billah Khalid al-Naqsyabandi RA, seorang tokoh peneliti kitab Maktubat dalam muqadimahnya berkata: "Manusia tidak akan pernah terlepas dari rabithah dengan apa saja, adakalanya mempunyai ikatan dan jalinan hati dengan hartanya, pekerjaannya, istrinya, teman atau sahabat  karibnya dan lain sebagainya. Rabithah menurut istilah Ulama Tashawuf RA, tidak lain kecuali ungkapan tentang penafian dan penghindaran semua ikatan dan jalinan dengan selain Allah SWT dari dalam hati. Sebagaimana yang telah menjadi ketetapan bahwa semua aktifitas akal pikiran dalam setiap urusan mempunyai ikatan dan jalinan dengan hati yang dilandasi dengan rasa cinta. Jika lintasan-lintasan ini menguasai dan mewarnai hati, maka dalam jiwa orang tersebut sangat perlu untuk melakukan amalan yang bisa menghilangkan perkara tersebut. Oleh karenanya, melakukan amalan tersebut dalam urusan-urusan yang terpuji adalah terpuji, dan jika dilakukan pada urusan-urusan yang tercela maka tercela." Selanjutnya Sayyiduna Syaikh Khalid Naqsyabandi RA berkata: "Rabithah termasuk penyebab wushul yang paling agung, setelah berpegang teguh pada Al Qur'an dan Al Hadits."
Sayyiduna Syaikh Imam al-Ghazali RA dalam kitab Ihya' menulis: "Hadirkanlah dalam hatimu sosok mulia Beliau SAW, dan ucapkanlah: "Assalaamu 'alaika ayyuHhan Nabiyyu wa rahmatullaHhi wa barakatuHh", dan yakinlah bahwa salammu akan sampai kepada Beliau, dan Beliau SAW, akan menjawab kepadamu dengan salam yang lebih sempurna. Lalu bersalamlah untuk dirimu dan segenap hamba-hamba Allah yang shalih. Lalu bayangkanlah bahwa Allah SWT akan menjawab kepadamu dengan salam yang sempurna sejumlah hamba-hamba Allah yang shalih, dan bayangkanlah bahwa Allah SWT akan menjawab kepadamu dengan salam yang sempurna sebanyak hitungan hamba-hamba-Nya yang shalih. Kemudian bersaksilah bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Esa, dan Muhammad adalah Utusan Allah, demikian itu untuk memperbaharui janji Allah dengan mengulang dua kalimah syahadat, dan memulainya agar mendapat naungan dan perlindungan dari-Nya. Pada akhir shalatmu berdoalah dengan doa yang telah diriwayatkan dari Rasulullah SAW, dengan disertai rendah diri, khusyu', merasa bodoh, lemah dan hina, disertai dengan kesungguhan harapan terkabulkannya doa. Sertakan kedua orang tuamu serta segenap orang-orang mukmin. Tujukanlah salammu kepada malaikat dan orang-orang yang hadir ketika salam, seraya niat mengakhiri shalat dan rasa bersyukur atas pertolongan-Nya sehingga dapat menyempurnakan ketaatan. Dan anggaplah bahwa kamu adalah orang yang sedang berpamitan dalam shalatmu ini, sehingga kamu seakan-akan tidak hidup lagi setelah ini. Rasulullah SAW bersabda kepada orang yang diberi wasiat oleh beliau :  "Shalatlah kamu seperti shalat orang yang berpamitan," lalu tancapkanlah rasa takut dan malu dalam hatimu akibat gegabah dan sembrono dalam menunaikan shalat.  Takutlah bahwa shalatmu tidak akan diterima dan engkau akan dimurkai oleh Allah sebab dosa, baik yang lahir maupun yang bathin, sehingga shalatmu dihantamkan pada wajahmu. Di samping itu dengan kemuliaan dan anugera Allah, berharaplah shalatmu diterima.”
Beliau Imam al-Ghazali juga berkata: "Ketahuilah, bahwa sebagaimana muka dan badan orang yang shalat hanya menghadap pada Baitullah, maka hatipun juga hanya menghadap kepada Allah SWT." Adapun i'tidal adalah berdiri tegak yang dilakukan oleh orang yang shalat, sedangkan hatinya bersimpuh di hadapan Allah SWT, sehingga kepala yang merupakan anggota badan tertinggi hendaknya menunduk sebagai pengingat pada keharusan hati untuk rendah diri, merasa bodoh, hina dan nista serta bebas dari rasa paling hebat dan sombong. Dan hendaknya dzikir dalam i'tidal itu sebagai pengingat rasa takut, cemas dan khawatir ketika dihadapkan di haribaan Allah SWT pada waktu pertanggungjawaban amal.
Ketahuilah, ketika kamu berdiri dihadapan Allah SWT sesungguhnya Allah adalah dzat yang maha melihatmu. Oleh karenanya berdirilah di hadapan Allah seakan-akan kamu berdiri di hadapan seorang raja yang sangat berwibawa, jika kamu tidak mampu mengetahui dan merasakan hakekat kebesaran dan keagungan Allah. Bahkan selama berdirimu dalam shalat, kira-kirakanlah bahwa kamu diperhatikan dan diawasi oleh mata sadis seorang shalih dari keluargamu atau dari orang yang engkau idolakan dalam kebaikan dirimu. Hal ini dilakukan agar semua anggota badanmu diam, khusyu' dan tenang karena merasa takut dianggap sebagai orang yang tidak khusyu' oleh orang-orang tersebut. Jika perasaanmu sudah bisa seperti ini, maka cercalah dan berkatalah pada dirimu sendiri: "Kamu mengaku bermakrifat, cinta dan rindu pada Allah, apakah kamu tidak malu atas kenekatanmu pada-Nya sementara kamu diam, tunduk, khusyu' dan tenang pada seseorang yang menjadi hamba-Nya?... Apakah kamu merasa takut kepada manusia dan tidak takut pada-nya?... Padahal Allah-lah yang lebih patut dan layak untuk ditakuti !"
Oleh karenanya ketika Sayyidina Abu Hurairah RA bertanya kepada baginda Habibillah Rasulillah Muhammad SAW: "Bagaimana cara untuk meraih rasa malu kepada Allah SWT? Beliau SAW menjawab : "Malulah kamu kepada Allah seakan-akan kamu merasa malu kepada seorang yang shalih dari kaummu."

0 komentar:

About This Blog

About This Blog

  © Blogger template Brooklyn by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP